Copyright © Atiyya Inayatillah
Design by Dzignine

Syaathir's Adevnture | Jelajah Nusantara I (Lombok - Jawa)

Halo Om, Tante, Kakak, Kakek, Nenek, dsb…   kali ini episode petualangan kami adalah perjalanan Lombok – Sidoarjo menggunakan mobil pribadi. Di dalam cerita ini akan tersaji lebih dari sekedar cerita perjalanan dari secuail wilayah nusantara, tetapi juga sekilas catatan tentang Indonesia. Mari kita simak petualanganku yang sementara masih ditulis oleh dan dengan sudut pandang ayah. Kelak ketika sudah bisa membaca aku harus membaca cerita ini dan menggali berbagai hal dari petualangan yang sebenarnya aku jalani sendiri ketika masih berusia 20 bulan bersama dua tokoh utama lainnya yaitu Ayah dan Mama.
-Syaathir Ahlami Hamzah (Bos)-
Tulisan ini diambil dari http://hamzahmaulana.blogspot.com/2014/06/syaathirs-adevnture-jelajah-nusantara.html dan http://hamzahmaulana.blogspot.com/2014/07/chapter-v-negara-taman-nasional-bali.html 

Chapter I  |  Gunung Sari – Lembar

Secara de jure kami cukup terlambat untuk berangkat. Rencana berangkat setelah subuh—yang sempat direvisi menjadi lebih realistis menjadi pukul 7:00 WITA—pada akhirnya baru terealisasi pukul 9:30 WITA. Malam hari sebelumnya kami masih terlalu sibuk mengurus bisnis Pancake Durian dan proses revitalisasi asisten rumah tangga (lebih detailnya adalah proses PHK dan persiapan perekrutan personel baru) serta berbagai plan untuk GILI. Kami terlalu lelah malam itu hingga berbagai persiapan baru kami lakukan pada pagi ini. Membersihkan rumah, memasak perbekalan sekaligus menghabiskan semua bahan makanan yang akan rusak ketika kami tinggal selama 3 minggu, hingga menata ulang rumah karena akan disewa oleh beberapa teman saat liburan super longweekend pekan depan. Tapi secara de facto tidak ada yang terlambat karena memang kami tidak terlalu mengejar target. Begitulah Mama mencoba menghibur kami.

Semua bahan kue yang tersisa di rumah tidak kami sisakan untuk membuat pancake dalam arti sesungguhnya yang tebal dan mengenyangkan. Dengan tambahan selai strawberry dan keju, peran pancake ini akan sangat vital sebagai camilan berbobot yang juga bisa sebagai bahan makanan pokok. Aku jadi ingat petualangan ke Puncak Rinjani bersama GiliSurf, sebagian besar anggota tim yang berasal dari Eropa cukup makan pancake + nanas + susu. Kandungan gizi ketiga makanan itu jelas sudah cukup memberikan energi. Hanya saja bagi perut nusantara sudah tentu tidak menyenangkan. Tugaskulah untuk membuat pancake karena Mama masih sibuk membersihkan rumah. Terletak di sebuah bukit di Gunung Sari yang merupakan persimpangan antara Senggigi - Pusuk Pass yang juga akses ke Gili Trawangan – dan Kota Mataram, rumah ini sangat potensial untuk dijadikan rumah singgah bagi para wisatawan terutama wisatawan dengan lo budget hi movement. Jadi semua barang probadi kami mulai dari pakaian hingga mainan Bos sebisa mungkin kami masukkan ke dalam lemari dan karud besar. Yang tersisa di luar hanyalah barang-barang yang bisa digunakan oleh tamu misalnya TV, lemari es, kompor, dispenser, buku dan majalah, sepeda, kasur + bantal guling, selimut, dsb.

Perjalanan kami dimulai dengan mampir ke tempat sampah umum di dekat Bandara Selaparang. Ya, sampah memang menjadi persoalan utama kami. Setidaknya di perumahan dan kampung sekitar  belum ada jasa distribusi sampah. Hal ini sempat menarik perhatian kami untuk menanganinya terinspirasi oleh Pak Imam Hariadi Sasongko, orang tua ketiga kami. Entah apa yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Dinas Kebersihan Lombok Barat. Tapi setidaknya di berbagai titik yang sering dijadikan tempat pembuangan sampah oleh masyarakat selalu terpasang papan peringatan ‘Dilarang Membuang Sampah Di Tempat ini’ dengan signature institusi tersebut. Tetapi solusinya bagi masyarakat? Dibakar atau lempar ke sungai atau tempat strategis lain! Bagiku solusi sementara adalah membungkus sampah dengan rapi di dalam kantong plastic besar kemudian memasukkannya di dalam bagasi mobil dan dengan cepat langsung menuju tempat sampah umum dengan jarak hanya sekitar 2 km yang disediakan oleh dinas yang nama depannya sama tetapi nama belakangnya berbeda yaitu Kota Mataram.

Selanjutnya Kami melewati jalan Udayana yang pada masa-masa awal bisnis Pancake Durian Lombok menjadi salah satu ladang penjualan. Berbelok ke timur kami menyusuri Jalan Pejanggik yang menjadi icon Kota Mataram. Di sinilah berdiri berbagai bangunan utama mulai dari satu-satunya Mal hingga Kantor Gubernur. Mobil kami mulai melambat ketika memasuki wilayah Cakranegara yang selalu sibuk dan padat. Secara sosial ekonomi Mataram adalah gabungan antara dua kota yaitu Cakranegara yang terletak di sebelah timur dan Ampenan di pesisir Barat. Cakranegara menjadi salah satu pusat perekonomian utama di Lombok yang didominasi oleh pedagang keturunan Cina dan masyarakat yang beragama Hindu. Sedangkan Ampenan sebagian masyarakatnya adalah Keturunan Timur Tengah serta gabungan berbagai etnis. Itulah yang menjadikan kota Mataram sungguh berwarna.

Dari pusat kota Cakranegara kami berbelok dan terus bergerak ke selatan. Kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli air minum dan beberapa camilan ringan. Tak lama setelah melewati monumen Lombok Barat Bangkit kami tiba di Kota Gerung yang merupakan ibukota Kabupaten Lombok Barat. Tiba-tiba di ban belakang mobil terasa ada sesuatu yang mengganjal meskipun mobil masih bisa kuajak lari kencang. Kami memutuskan berhenti dan memeriksanya. Sebuah potongan paku menancap di ban belakang sebelah kanan tetapi tidak sampai menyebabkan kebooran dan langsung teratasi dengan singkat di bengkel yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat kami berhenti. Puluhan hingga ratusa kali aku keliling Lombok termasuk di wilayah Gerung, tetapi baru kali ini aku mengalami kejadian seperti ini. Memang pernah ban mobilku tertutuk benda tajam tetapi itu terjadi di dekat rumah akibat ada material berserakan di proyek dekat komplek perumahan. Mungkin kejadian ini adalah tembahan cerita yang membuat perjalanan terasa semakin dinamis.

Kami tiba di Pelabuhan Lembar dan langsung membeli tiket penyebrangan. Petugas loket cukup ramah namun juga cukup tegas menyebutkan nominal Rp733.000,- sebagai biaya penyebrangan sebuah mobil pribadi termasuk penumpang di dalamnya. Inilah atu hal yang membuat Bali – Lombok seolah terpisah jauh, setidaknya bagi kami. Jauhnya perjalanan laut serta mahalnya biaya penyebrangan membuat kami tidak bisa sesuka hati jalan-jalan ke Bali dengan mobil pribadi. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan titik penyebrangan lain di nusantara. Sepertinya penyebrangan kali ini akan terasa menyenangkan karena antrian penumpang di dermaga keberangkatan terlihat sangat sedikit. Mobil dan sepeda motor pun hanya ada beberapa termasuk sepasang wisawatan asing dengan sepeda motor dan surfboard yang tergantung di sampingnya. Sekitar 10 menit kami menunggu hingga akhirnya seorang petugas mengarahkan kendaraan bermotor untuk masuk ke kapal.



Chapter II  |  Lembar – Padang Bai

Usai memarkir mobil di bagian paling depan deck paling bawah kapal, seorang petugas langsung menawari kami untuk menyewa kamar. Hal itu memang sudah masuk plan kami karena mustahil 4 – 5 jam di tempat umum dengan berbagai aktivitas yang salah satunya adalah tidur dan menyusui. Kami langsung diajak naik ke deck paling atas dan deal dengan harga Rp70.000,- untuk kamar nahkoda dengan fasilitas AC, TV dan DVD lengkap dengan puluhan koleksi film, privasi khusus karena bukan deck umum termasuk balkon untuk menikmati panorama luar, serta kamar mandi khusus perwira tepat di sebelahnya. Harga yang cukup pantas tetapi sebenarnya bisa aku nego lebih murah lagi daripada hanya turun 30% dari harga penawarannya. Aku sedang malas nego terlalu dalam dan yang penting segera masuk ke dalam kamar yang nyaman.

Aktivitas pertama tentu saja memilih film setidaknya untuk membuat suasana kamar menjadi lebih hidup. Setelah melalui proses pemilihan yang ketat, The Company of Heroes akhirnya menjadi film pertama yang kami putar. Sebuah misi rahasia sekutu untuk menggagalkan proyek bom atom Nazi di Kota Stuttgart. Berbagai referensi menyatakan ‘entah apa jadinya dunia ini jika Nazi yang lebih dulu menyelesaikan proyek Bom Atom?’

Tentu saja aktivitas Bos adalah makan siang yang ia selesaikan dengan sangat baik tanpa ada aksi mogok makan. Perut kenyang sebenarnya saat yang tepat baginya untuk tidur. Tapi rupanya ia memang petualang sejati dan lebih memilih untuk menikmati pemandangan di luar kapal dari jendela. Lembar terletak di sebuah teluk yang sangat strategis dengan sisi selatan tertutup penuh dan sisi barat yang juga nyaris tertutup oleh daratan. Ombak dan angin manjadi jinak di pelabuhan ini, akan berbeda ceritanya jika pelabuhan diletakkan di pesisir barat-tengah Lombok misalnya Ampenan. Perlu waktu beberapa puluh menit bagi kapal buatan Jepang ini untuk meninggalkan teluk tersebut. Selanjutnya kami berada di bagian utara Sekotong dan seolah sedang berada di atas kapal pesiar. Garis pantai yang sangat putih adalah hiburan utama di penyebrangan ini. Beberapa saat kemudian terdapat beberapa gili (pulau kecil). Kamera sudah tentu tak lepas dari tanganku. Lengkap sudah karena beberapa bulan lalu aku pernah berhasil meng-capture pulau-pulau di barat daya Lombok ini dari pesawat, Namun sayangnya kami belum sempat menjelajahi wilayah tersebut. Pesisir barat – tengah yaitu Ampenan – Senggigi pun terlihat dari sisi kanan kapal.  Sungguh Lombok memang indah nyaris di semua sisi.

Memasuki jam kedua kami sudah berada di laut lepas dalam artian di sebelah selatan kami tidak ada lagi daratan dan kapal ini akan memperoleh efek langsung dari ganasnya Samudra Hindia. Untungnya saat itu Bos sudah berhasil ditidurkan hingga kekhawatiran kami mengenai kemungkinan ia mabuk laut pun sirna. Pada hari yang secara umum gelombang laut relatif tenang pun perut kapal terasa terus bergoncang. Tapi inilah menariknya perjalanan laut sesungguhnya. Usai shalat dhuhur kami harus memilih film berikutnya. Real Steel adalah film yang akhirnya kami putuskan untuk kami tonton ulang sambil melakukan berbagi hal luar biasa di dalam kamar ketika Bos sedang tertidur lelap J.

Goncangan mulai mereda ketika sebuah pulau besar terlihat tepat di sebelah selatan kami. Itulah Pulau Nusapenida yang sudah masuk ke dalam wilayah Provinsi Bali. Sekilas secara visual garis Pantai utara Nusapenida tidak seputih Sekotong meskipun aku yakin di sisi selatan yang mengahdap ke Samudra Hindia akan lain situasinya. Hal ini membuatku semakin penasaran untuk menjelajahi pulau tersebut, suatu hari nanti.

Ketika robot Atom milik ayah dan anak Kenton mulai mendapatkan undangan untuk bertarung di WRB, pulau Bali semakin terlihat jelas di depan kami. Saat itu pula Bos terbangun dari tidurnya dan kami pun mulai berkemas. Sungguh beruntung penyebrangan ini lancar dan cepat. Jika durasi rata-rata sebuah film Hollywood adalah 120 menit, maka total perjalanan ini sekitar 3 jam terdiri dari 1,75 durasi film + asumsi diskusi memilih film. Tak lama kemudian dari pengeras suara diumumkan bahwa dalam waktu beberapa menit lagi kapal akan berlabuh di dermaga Pelabuhan Penyebrangan Padang Bai Bali. Kami menyempatkan diri untuk berfoto di deck atas yang seolah menjadi milik pribadi kami sebelum kemudian turun menuju tempat parkir mobil. Mesin mobil sudah dinyalakan dan kami siap menjelajahi Pulau Bali!


Chapter III  |  Padang Bai – Kuta

Rasanya ada energi luar biasa saat menginjak pedal gas mobil di atas aspal jalan nasional yang menghubungkan Padang Bai dengan Denpasar. Inilah untuk pertama kalinya keluarga kecil kami berpetualang di Pulau Bali. Pepohonan yang rindang selepas Padang Bai ditambah pemandangan pura di setiap rumah membuat rasa kantuk menjadi hilang. Beberapa penjual ikan laut di sisi jalan semakin membuat suasana melancong semakin terasa. Puncaknya adalah ketika kami melihat penjualn Durian Bali berjajar di sepanjang jalan. Namun sayangnya jenis duran yang dijakakan tidak lebih baik dari durian di sekitar Pusuk yang biasa kami gunakan sebagai komoditi bisnis. Tapi aku tak yakin durian di sekitar Padang Bai ini bisa menggeneralisir durian dari Pulau Bali.

Usai melewati lokasi wisata Gua Lawa, jalan dua jalur dua lajur ini akhirnya berbuah menjadi jalan besar dua jalur empat lajur dengan median. Rasanya kami mulai disambut dengan kekuatan infraturktur Bali sebagai destinasi wisata yang memang telah mendunia. Satu hal yang membuatku kagum meskipun di sepanjang jalan tersebut terdapat sangat banyak perempatan dengan lampu lalu lintas, tetapi semuanya tertib. Ditambah lagi selalu terdapat rambu penunjuk jalan resmi yang menujukkan destinasi wisata meskipun tidak terkenal. Berturut-turut kami disuguhi petunjuk jalan ke kiri berbagai pantai yang seagian besar asing di dalam kamus kami. Sisi kanan pun tak kalah dengan icon Bali Safari Park. Siang yang panas pun terasa menyenangkan.

Meskipun jalan raya yang sangat istimewa ini dibuat dengan perkerasan beton yang tentu saja mengurangi kenyamanan berkendara, namun kecepatan mobil tepat stabil cepat rata-rata 70 – 80 km/jam. Tak lama kami sudah sampai di Denpasar Timur dan petunjuk jalan menuju Pasar Sukowati ke arah utara. Sempat tergoda namun kami tetap melanjutkan perjalanan menuju Kuta. Memasuki kota Denpasar kami sedikit mengalami salah jalan atau bisa disebut kesasar akibat adanya masalah dengan gadget android-ku. Berbekal rambu penunjuk jalan dan aplikasi GPS amatir dari Blackberry kami pun mulai kembali ke jalur yang benar menuju Kuta.

Menyusuri jalan-jalan utama di Kota Denpasar diantaranya Jl. Hang Tuah, Jl. Puputan Niti Mandala Raya, Jl. Teuku Umar kami menyaksikan kemegahan ibu kota Bali ini. Kantor-kantor instansi pemerintah dan swasta berjajar rapi di sisi kanan dan kiri jalan yang rindang dengan taman kota yang selalu terjaga. Mal dan pertokoan pun nampang elok dengan arsitektur khas Bali. Seandainya daerah lain juga menerapkan perda di dalam pengurusan IMB agar bangunan publik harus dibuat dengan desain tradisinoal untuk terus melestarikan budaya dan kearifan lokal.

Sejatinya kami sudah keluar Kota Denpasar dan mulai memasuki Kabupaten Badung. Hanya saja batas kota memang tak jelas karena nuansanya hampir sama yaitu keramaian. Menjelang Kuta berbagai hotel mulai berbaris seolah berlomba menawarkan harga dan fasilitas terbaiknya. Kami memasuki Jl. Legian dari arah Jl. Patih Jelantik – Jl. Sriwijaya yang menurut Mama sering dijadikan tempat shooting film (sinetron?) dan terdapat berbagai galeri seni.

Tibalah kami di salah satu icon utama Bali yaitu Jl. Legian yang sempat mengalami peristiwa pemboman pada 2002 dan 2004. Nyaris dari semua sudut pandang, Jl. Legian ini sangat menarik! Di sisi kanan dan kiri hotel berjajar rapi berbagai store merk terkenal yang kebanyakan dari luar negeri. Beberapa hotel dan restoran/café juga menjadi pemandangan utama yang disempurnakan dengan wisatawan asing yang berjalan kaki. Mobil kami mungkin hanya sanggup berjalan dengan kecepatan rata-rata 5 km/jam saat melewati jalan ini karena sekali jalan tak lebih dari 5 meter yang ditempuh kemudian berhenti lagi selama beberapa menit. Lebar jalan nyaris penuh dengan dua mobil berjajar dan tentu saja parkir mobil dan sepeda motor di pinggir jalan diharamkan. Kemungkinan parkir di jalan ini hanya di hotel. Ingin rasanya berjalan kaki di Legian, namun tak kunjung menemukan tempat parkir hingga kami pun tiba di Pantai Kuta. Di pintu selatan Pantai Kuta pun parkir mobil dan sepeda motor penuh hingga kami harus menyusuri Jl. Pantai Kuta terus ke Utara hingga menemukan tempat parkir tak jauh dari Sunset Hotel.

Sunset time! Lupakan Legian dan jauhnya berjalan kaki kesana sambil menggendong Bos. Kami pun melangkahkan kaki memasuki Pantai Kuta yang memang tiada duanya. Hamparan pasir putih lembut membetang dari ujung selatan hingga terus ke Utara sekitar Seminyak. Memang lebih indah pasir merica di Lombok, tapi mungkin lebih nyaman pasir jenis ini. Dari sisi ombak juga sedang karena masih memperoleh efek langsung dari Samudra Hindia dari arah barat daya namun dari sisi selatan masih terlindungi oleh bagian kaki Pulau Bali—Jimbaran & Pecatu. View sempurna untuk menikmati sunset karena pantai ini menghadap ke arah barat. Sekali lagi mungkin dari sisi landscape lebih unggul Senggigi dengan perpaduan pantai dan bukitnya. Namun eksotisme Kuta adalah perpaduan dari elemen alam yang disempurnakan oleh hingar bingar kehidupan pantai internasional dan beberapa elemen buatan. Fasilitas sudah tentu menjadi yang terlengkap di Indonesia dengan berbagai brand hotel, kuliner, dan goods terkenal.

Aku sibuk memotret aktifitas surfing, Mama sibuk selfie dan bergaya bak remaja, sedangkan Bos sibuk bersantai dengan gayanya yang khas sambil memandangi kawan-kawan seumurannya dari berbagai negara yang sedag berenang. Disinilah kami menyaksikan betapa budaya berniteraksi dengan alam sangat ditanamkan oleh masyarakat dari negara-negara ‘barat’. Bocah yang kira-kira seusia pun 4 - 5 tahun sudah mencoba berselancar di ombak yang tidak bisa dibilang kecil dengan dibantu orang tuanya yang memegang tali kendali papan tersebut. Di sisi lain kami melihat beberapa wisatawan asing seolah sedang membuat film. Dua hal tersebut sangat menarik dibandingkan lalu lalangnya remaja-remaja Indonesia yang berpakaian minim yang dengan mentah bergaya bule dan seolah sama sekali tak kenal norma ketimuran. Tak terasa matahari pun sudah hampir tenggelam sepenuhnya dan kami harus melanjutkan perjalanan.


Chapter IV  |  Kuta – Negara

Mengejutkan sekali ternyata parkir mobil di Kuta tidak ditarik biaya. Mungkin masyarakat Bali tidak mau bermain ‘uang receh’ seperti itu. Devisa wisata dikelola dengan baik, tidak seperti daerah lain termasuk Lombok yang persoalan parkir pun masih menjadi andalan utama masyarakat sekitar.

Kami harus kembali ‘ke jalur yang benar’ yaitu jalan nasional Denpasar – Gilimanuk. Singkatnya kami sudah melenceng hingga 15 km di sebelah selatan jalur tersebut. Kami pun mantap memutuskan untuk berpatokan pada plan awal yaitu bermalam di Negara. Setidaknya di hari pertama ini kami ingin ada perjalanan berarti. Jika harus bermalam di Kuta maka hari kedua akan menjadi sangat berat. Biarlah kami berlibur sepuasnya di Bali saat kembali nanti atau di lain kesempatan.


Memasuki Jl. Seminyak perjalanan relatif mulai lancar. Secara umum strukturnya sama dengan Jl. Legian namun sedikit lebih lebar dan keramaiannya pun berkurang. Pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan hampir sama dengan didominasi oleh hotel, restoran/café, dan toko. Namun jenis barang yang dijual disini mulai berbeda. Di Seminyak mulai banyak kerajinan lokal yang sangat elegan dan puncaknyanya adalah sebuah butik milik Ni Putu Jelantik. Sedangkan untuk produk fashion internasional tidak melulu didominasi oleh merk surf appreal tetapi lebih banyak butik dengan berbagai spesifikasi jenis pakaian mulai dari gaun pengantin hingga bikini. Kami cukup terinspirasi oleh kerajinan dari kerang yang dibentuk menjadi semacam lampu elegan dengan ornamen alami.

Usai maghrib kami mulai meninggalkan area wisata tersebut namun jalanan tidak serta merta menjadi sepi. Jika tingkat kerumitan jalanan di Jakarta memperoleh nilai 10 (skala 0 – 10) maka Bali setidaknya satu tingkat di bawahnya. Kerumitan jalanan ini diperparah dengan adanya upacara adat Galungan & Waisak yang membuat beberapa ruas jalan harus ditutup. Tantangan yang semakin nyata untuk menaklukkan jalanan Badung. Untuk urusan perut Bos masih tersedia perbekalan, sedangkan bagi kami disinilah peran pancake sebagai camilan berat pengganjal perut. Berhenti untuk makan di sekitar Badung yang rumit bukan pilihan. Bagi kami sebagiknya terus berjalan sambil ngemi pancake dan di Negara nanti kita akan makan malam lezat dengan kondisi bada segar.

Kami berhenti di sebuah bensin beberapa saat sebelum tiba di jalan nasional di sekitar Mengwi. Inilah pertama kalinya kami mengisi bensin di perjalanan ini karena perjalanan Lombok – Denpasar masih bisa dilayani dari sisa bensin yang ada. Melihat kamar mandi yang bersih kami memutuskan untuk memandikan Bos. Inilah Bali-Jawa dimana pom bensin seringkali menjadi tempat peristirahatan yang cukup nyaman. Memandikan Bos disini pun tidak disertai dengan perlawanan berarti. Ia mandi dengan ceria. Badan segar, bersiaplah tidur dan melanjutkan perjalanan berikutnya Bos!

Lega rasanya bertemu dengan bus-bus dan truk-truk besar. Akhirnya kami tiba di jalan nasional Denpasar – Gilimanuk dan tak lagi bergantung kepada gadget. Jalanan lebar membuat kami mau tidak mau harus menyesuaikan kecepatan. Rasanya Kota Negara akan dicapai dengan mudah meskipun aku sempat melihat patok km di kiri jalan yang tertulis Gilimanuk 106 km. Setelah kuestimasi jarak dari titik tersebut ke Negara adalah sekitar 80 km.

Perjalanan mulai terasa sulit usai kami melewati Tabanan. Jalanan mulai menyempit sehingga lalu lintas terasa padat. Diperparah dengan topografi naik – turun dan banyaknya tikungan serta adanya proyek pembuatan fly over pada beberapa titik, kecemasan mulai menghinggapi Kami. Mama mulai mengungkit bahwa Negara memang jauh karena ia terpengaruh cerita dari teman ibunya yang bekerja di PA Negara. Aku mencoba tenang namun tetap cemas dan merasa bersalah karena aku mulai sadar bahwa di perjalanan ini bukan hanya aku yang bekerja keras sebagai driver, tetapi juga Mama yang harus memangku Bos, dan Bos yang tidak bisa tidur dengan posisi optimal. Menggunakan baby car seat pun bukan pilihan buat Bos karena ia tidak bisa bergerak bebas. But the sow must go on. Berhenti dan mencari hotel di sekitar sini bukan pilihan yang baik karena kami relatif tidak berada di suatu kota, sedangkan kembali ke Denpasar jelas konyol. Aku jadi ingat beberapa kali aku menempuh Jalur Denpasar – Gilimanuk sejak beberapa tahun lalu selalu saja menghadapi kondisi seperti ini di Tabanan. Tak kubayangkan jika harus melewati daerah ini pagi atau siang hari dimana kepadatan arus lalu lintas harus berpadu dengan berbagai aktivitas masyarakat setempat misalnya pasar dsb.

Seringkali aku harus mempertahankan persneling mobil di gigi 1 ketika melewati jalan menanjak karena di depan kami ada truk besar yang berjalan dengan sangat lambat. Mobil kami yang bertipe hatchback compact nampak mini disbanding raksasa jalanan seperti truk dan bus besar. Ketika jalan baru yang sedang dikerjakan nanti sudah selesai waktu tempuh Denpasar – Gilimanuk sudah tentu akan menjadi lebih singkat. Di sinilah peran infrastruktur sebagai penopang distribusi logistik maupun wisata.

Perjalanan menjadi lebih cepat ketika kami kembali di pesisir patai selatan dan topografi jalan menjadi lebih ramah yang berdampak pada jalanan terkesan lebih lapang. Aku sempat mencoba mengecek peta di gadget dan mendapat bahwa kami sudah berada di setengah perjalanan menuju Negara. Tentu saja kecepatan harus kutingkatkan untuk segera mencapai Negara. Bos pun mulai tampak tertidur semakin lelap.

Sekitar satu jam kemudian kami merasa seharusnya sudah tiba Negara tapi tak kunjung mendapati gerbang kota atau berubahnya situasi dari kegelapan hutan – sawa menjadi kota. Sempat terjadi perdebatan dengan Mama yang berargumentasi bahwa Kota Negara sudah terlewati dan mungkin tak lama lagi kami akan sampai di Gilimanuk. Tapi pendapat itu sirna dengan mulai banyaknya papan nama resort di sebelah kiri kami dan rambu-rambu ke arah pantai. Tak lama kemudian tibalah kami di gerbang Kota Negara dan harapan untuk segera tidur di atas kasur empuk pun akan segera terwujud.

Sebenarnya sejak di Badung aku sudah menelepon sebuah hotel yang kupilih secara teoritis dari daftar hotel di websit Kabupaten Jembrana. Teoriku adalah mencari hotel yang lokasinya di jalan utama. Hotel Jati kupilih karena terletak di Jl. Udayana yang juga terletak di jalur nasional. Tapi sejak tiba di kota negara kami mulai kehilangan arah akibat tak kunjung menemukann Jl. Udayana dan seolah jalan itu fiktif dan hanya ada di google map. Sempat putus asa kami sempat mencoba mampir ke beberapa hotel yang juga tak memuaskan dari sisi harga dan fasilitas serta beberapa sudah tutup. Kami pun bertanya ke beberapa orang satpam di depan sebuah Bank Swasta. Rupanya memang baru terjadi pergantian nama jalan di Kota ini sehingga aplikasi map belum bisa mengakomodasinya. Seorang satpam memberikanku petunjuk bahwa Hotel Jati lurus saja ke barat sampai sungai ketiga. Aku jadi teringat dengan Robi Navicula yang pernah mehyatakan bahwa sungai adalah sumber energi dan di dalam adat Bali harus dihormati. Bapak itu pun memberikan petunjuk dengan acuan sungai, bukan gedung, bukan kilometer, bukan tikungan sebagai bukti akan penghormatan terhadap kearifan lokal.

Tepat sekitar pukul 22:00 WITA Kami tiba di Hotel Jati. Terbayar sudah perjuanangan kami menemukan hotel Jati  karena sejak di gerbang masuk dan receptionist terlihat sangat nyaman. Kami berhasil mencapai target geografis, tapi gagal mencapai target waktu karena terlalu malam bersitrirahat di hari pertama ini. Puas rasanya melihat kamar yang cukup besar dengan kamar mandi dalam serta 2 singel bed lengkap dengan TV dan penyejuk ruangan serta teras yang cukup lebar dan mobil kami bisa diparkir tepat di depan kamar. Struktur hotel ini adalah bangunan-bangunan berukuran sedang yang tersebar tidak simetris dan masing-masing dibagi menjadi dua kamar. Untuk urusan harga Bali memang rajanya hotel. Kelas AC hotel ini dibanderol dengan harga Rp150.000,- sedangkan kelas fan dengan luas dan fasilitas yang sama hanya Rp75.000,- dengan bonus sarapan pagi untuk dua orang.

Welcome drink dua gelas the hangat kami lahap dengan nikmat, kemudian mandi dan pergi keluar hotel untuk mencari makan malam. Aku membeli makan pesanan Mama yaitu nasi goreng di dekat pusat Kota Nagara. Tapi ketika tiba di hotel justru aku mendapati kontradiksi. Mama tertidur lelap dalam kondisi belum mandi dan berganti pakaian, sedangkan Bos nampak full battery dan sedang bermain sendiri. Akhirnya aku menikmati makan malam bersama dengan Bos. Beberapa suap nasi dan telur berhasil masuk ke dalam mulutnya. Setelah itu aku tidur dan Bos kembali menjadi tanggung jawab Mama. Konon malam itu usai makan malam, Mama tidak berhasil menidurkan Bos dan Bos tetap bermain sendiri hingga akhirnya ketiduran.


Chapter V  |  Negara – Taman Nasional Bali Barat – Gilimanuk

Tidur nyenyak sudah tentu, bangun kesiangan juga hampir terjadi yang diperparah dengan perbedaan waktu. Kami berada di WITA paling barat yang secara de jure mungkin lebih terpengaruh WIB. Usai shalat subuh Mama kembali tidur. Aku mencoba berjalan-jalan bersama Bos di sekitar hotel. Sudah tentu Bos girang bukan main karena bertemu dengan salah satu sahabatnya yang terparkir tak jauh dari kamar kami: truk! Hotel ini memang menjadi hotel transit utama di Negara. Selain kami nampak beberapa keluarga dengan mobil jenis MPV juga menginap di hotel ini serta sebuah truk berukuran kecil dan pengendara moge.

Puas bermain dengan truk aku mengajak bos bermain alat musik tradisional Bali di sebuah gazebo. Penggunaan bambu sebagai alat musik ternyata tidak hanya angklung. Alat musik ini berbentuk seperti kulintang dengan setiap ruas bambu mewakili sebuah nada yang dipukul juga dengan bambu. Alat musik ini seperti tidak menggunakan pakem tujuh tangga nada internasional. Suatu hari nanti ingin kupelajari lebih detail alat instrument bambu ini.

Setelah Mama bangun  kami mulai persiapan keberangkatan. Malam harinya kami sepakat bahwa kami tidak boleh terlalu mengejar target lagi meskipun juga tidak terlamapu siang. Intinya ketka semua persiapan beres dan rasa lelah sudah taratasi, maka kami akan berangkat.

Sarapan pagi datang dengan menu nasi goreng + telur ceplok. Mama aku persilahkan menyantapan makanan terlebih dahulu sambil mencoba menyuapi Bos, sedangkan aku mencuci semua kotak makan. Bos hanya mau menikmati telur karena nasi goreng tersebut cenderung memiliki rasa pedas. Oke tidak masalah Bos bisa kami carikan makan di sekitar Gilimanuk. Sebagai pengganjal perut ia sudah menikmati telur dan pancake. Usai sarapan dan mandi kami pun siap melanjutkan perjalanan menuju Gilimanuk. Terima Kasih atas pelayananannya yang sangat memuaskan, Hotel Jati!

Perjalanan Negara – Gilimanuk mungkin menjadi salah satu yang paling menyenangkan. Tidur cukup, perut kenyang, badan segar, dan di hari yang relatif pagi sekitar pukul 09:00 WITA adalah bekal yang cukup. Dan tentu saja tak jauh dari Negara kami tiba di Taman Nasional (TN) Bali Barat. TN ini adalah habitat berbagai jenis burung khas Bali, primata, dan reptil. Welcome to The Jungle! Mata kami benar-benar fresh menyaksikan pepohonan sejuk di kanan di kiri kami dengan sesekali nampak air laut di sisi kiri. Jalanan mulus sepanjang TN membuat kami dengan cepat melewatinya. Aku kembali menegaskan kepada Mama untuk tidak terlalu memikirkan sejauh perjalanan yang masih harus kami tempuh karena hanya akan membuat mental down untuk melalui perjalanan ini. Sebaiknya kami fokus kepada setiap chapter beserta ceritanya masing-masing dan melihat kembali sejauh mana yang sudah kami capai.

Di ujung TN kami berhenti di sebuah monument perjuangan TNI dan menyempatkan diri untuk berfoto bersama artileri dari tahun 40-an. Seorang petugas menghampiri kami dan banyak bercerita tentang monumen beserta alat-alat perang tersebut. Ia sangat bangga dengan kualitas sejata buatan Rusia yang hingga usia ke-50 tidak ada karat sedikit pun. Namun ceritanya mulai ngelantur ketika membahas tentan para jendral bintang 4 hingga 5 yang sering berkunjung ke tempat ini dan akrab dengan dirinya. Khas wong cilik di negeri ini, terlalu membesar-besarkan kenalan. Selanjutnya kami berhenti di depan pos TN Bali Barat yng juga menjad pusat kegiatan outdoor dan bird watching. Jika ada waktu yang cukup tentu saja aku aka singgah lebih lama dan berburu foto unggas tersebut.

Kami mulai memasuki Desa Gilimanuk setelah sebuah pertigaan besar. Jalan ke arah timur laut tersebut adalah rute menuju Pantai Lovina, destinasi yang relatif baru di Bali dengan mengadalkan keelokan lumba-lumba. Kami berjalan terus ke arah barat laut kemudian berhenti di sebuah warung bertuliskan ‘Jawa Muslim’ untuk membeli makanan Bos. Di sekitar Negara – Gilimanuk memang populasi Jawa Muslim cukup banyak dan banyak warung selalu menuliskan identitas tersebut untuk memeberikan info konsumen akan makanan halal. Menu makan Bos kali ini adalah nasi + rawon yang nampak segar di lidahnya. Usai membayar makanan yang ternyata lebih mahal dari perkiraanku, kami pun melanjutkan perjalanan untuk mencari ATM dan memasuki kawasan Pelabuhan Penyebrangan Gilimanuk.


Chapter VI  |  Gilimanuk – Ketapang

Pelabuan Gilimanuk lebih ketat dibandingkan Lembar dan Padang Bai. Sebelum memasuki loket, kami harus menjalani pemeriksaan SIM dan STNK oleh polisi. Tapi pemerikasaan KTP tidak dilakukan padahal sebelumnya aku sudah meminta Mama untuk mempersiapkan KTP. Sejak peristiwa Bom Bali memang akses keluar masuk Bali (terutama dari Jawa) dibuat lebih ketat. Selanjutnya kami tiba di loket penyebrangan dan harus membayar sebesar Rp 124.000,- yang kurang lebih hanya sekitar 17% dari harga tiket penyebrangan Lembar – Padang Bai.

Tanpa antri kami langsung diarahkan untuk masuk sebuah kapal yang nampak hampir penuh. Kali ini kami mendapatkan parkir di baris paling belakang di deck paling bawah. Tidak masalah yang penting cepat berangkat. Sesuai plan kami tidak perlu menyewa kamar karena durasi perjalanan hanya sekitar satu jam. Kami langsung bergerak menuju lantai 2 dan memilih tempat duduk di ruangan dalam yang dilengkapi AC tepat di samping jendela kaca yang sangat besar. Dengan leluasa kami bisa melihat pemandangan di luar kapal. Menyenangkan juga berada di dalam kapal import bekas dari Jepang ini.

Perlahan-lahan kapal mulai bergerak meninggalkan Pelauhan Gilimanuk Bali. Garis pantai Pulau Bali nampak putih dan indah yang dilengkap dengan perbukitan di belakangnya dan di kejauhan nampak sebuah Gunung yang sangat besar yaitu Gunung Agung. Sedangkan di sisi Pulau Jawa berdiri kokoh Gunung Raung. Garis pantai Pulau Jawa di sisi ini memang tidak terlihat indah, tetapi aku yakinkan kepada Mama bahwa sisi selatan Pulau Jawa tepatnya Banyuwangi adalah pantai dan surf spot kelas dunia.

Sembari beristirahat kami menikmati pancake dan beberapa camilan ringan. Inilah saatnya istirahat bagi kami, juga bagi mobil karena sebentar lagi perjalanan berat menanti. Bagi sebagian orang perjalanan dasat seseungguhnya adalah jalur Banyuwangi – Sidoarjo/Surabaya. Di belakang tempatku duduk terdapat seorang lelaki saparuh baya yang dari mimik mukanya terlihat cukup ramah. Entah apa yang membuat kami memulai percakapa tetapi akhirnya ia pun bercerita tentng pengalama kerjanya. Mulai dari bekerja sebagai tukang bangunan di Denpasar hingga menjadi TKI di Maldives. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kami petik dari perjalaan hidupnya. Ia pun cukup bangga menceritakan daerah asalnya yang merupakan jalur utama pendakian menuju Kawah Ijen.

Perjalanan yang lancar mulai menemui hambatan. Kapal seolah hanya diam di tempat sekitar beberapa ratus meter dari dermaga. Terlihat sangat jelas dermaga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi termasuk berbagai fasilitas disana misalnya tangki BBM berukuran besar dan terminal penumpang serta beberapa kapal besar yang sepertinya akan menuju ke Kalimantan terlihat dari tulisan Banjarmasin. Lelaki tersebut mengatakan bahwa hal ini sudah biasa terjadi. Sungguh tak habis pikir aku bahwa antrian masuk dermaga harus dilumrahkan. Entah berapa banyak BBM terbuang akibat manuver tanpa pergerakan ini. Apakah terlalu sulit mengatur schedule kapal yang sepintas tidak terlalu banyak ini?

Mari kita belajar dari film The Italian Job mengenai penggunaan tekonologi informasi untuk mengatur lampu lalu lintas sebuah kota. Hal itu bisa saja kita adopsi untuk mengatur schedule perjalanan kapal. Kita punya jutaan sarjana IT, instrumentasi, mekanikal, dan kelautan di negeri ini. Tak usah cari yang mahal karena aku yakin instrument dan algoritmanya tidak akan terlalu sulit, asalkan variabel datanya dibuat dan diinput dengan sempurna. Yang aku bayangkan adalah sebuah basis data dengan variable jenis kapal, estimasi waktu ­loading – unloading lengkap dengan standar deviasi, peta laut serta batas-batas imajiner misalnya radius manuver, data cuaca dan berbagai vaiable alam yang diperlukan, kecepatan yang bisa diturunkan lagi menjadi waktu menyerabrang bagi kapal ferry dan waktu meninggalkan area pelabuhan bagi kapal laut, konsumsi BBM setiap kapal, dsb. Semua itu harus dikalkulasi menjadi perintah jalan, tahan, dsb dengan pilihan prioritas misalnya efisiensi semua kapal atau memprioritaskan kapal tertentu dengan rumus yang telah ditetapkan hingga perhitungan detail BBM yang digunakan. Outputnya adalah persinyalan yang bisa berupa apapun untuk kapal yang menjadi tugas instrumentasi. Disinilah peran sinergi antar bidang. Mungkin mereka sudah punya aplikasi yang jauh lebih canggih dari ide konyolku ini. Tapi sudah jelas bahwa implementasinya nol.

Setelah berhenti sekitar setengah jam kapal akhirnya mulai bergerak mendekati dermaga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Pada saat bersamaan beberapa kapal bergerak meninggalkan Pelabuhan Ketapang menuju arah utara dengan muatan truk besar dan sekitar ratusan sepeda motor baru. Kami pun mulai bergerak turun ke deck paling bawah sambil menyempatkan diri berfoto. Petualangan berikutnya mengarungi Taman Nasional (TN) Baluran siap kami mulai!


Chapter VII  |  Ketapang – Taman Nasional Baluran – Pasir Putih

Menunggu truk dan bus di depan kami keluar kapal memang cukup menguji kesabaran. Akhirnya tiba giliran mobil kami untuk keluar meninggalkan kapal dan mulai menginjakkan kaki di Pelabuhan Ketapang yang sepintas faslilitasnya paling lengkap di antara tiga pelabuhan yang sebelumnya kami lalui. Keluar dari gerbang pelabuhan kami pun berbelok ke kanan dan terus bergerak kea rah utara. Di sisi jalan terpampang beberapa baliho besar mengenai sebuah maskapai BUMN yang baru-baru ini membuka rute penerbangan dari dan ke Banyuwangi. Akhirnya kabupaten dengan sejuta potensi wisata ini dikelola dengan baik. Untuk wisata pantai sebut saja Plengkung G-Land yang sudah mendunia. Tak bisa kita lupakan juga Pulau Merah dan berbagai pantai lain di sekitarnya. Untuk wisata pegunungan tentu saja Kawah Ijen adalah jaminan mutu bagi wisatawan asing. Masih banyak lagi potensi wisata Banyuwangi yang semogasaja bisa dikelola dengan baik untuk kemakmuran rakyat.

Setelah melewati terminal Bus Sri Tanjung kami pun berhenti di sebuah pom bensin. Secara teori mungkin bensin kami sudah cukup hingga Pasir Putih. Tapi kami tak mau mengambil resiko dan memilih untuk meambah cadangan bahan bakar. Di patok km sebelah kiri tertulis Surabaya 265 km dan Asem Bagus 50 km. sudah tentu Mama shock melihat jauhnya jarak yang masih harus kami tempuh. Tapi lagi-lagi aku mengingatkan bahwa kita tidak akan terlalu mengejar target dan jika pun ada target sebaiknya dibuat per chapter. Aku mencoba membuka gadget dan mendapati bahwa Asem Bagus adalah sebuah Kota Kecamatan sebelum Kota Situbondo. Sebenarnya dalam hati aku juga mulai down, mission impossible…   bahkan dengan melaju 50 km saja kami belum akan mencapai Kota Situbondo.

Setelah meninggalkan pom bensin perjalanan terasa begitu cepat. Jalanan mulus membuat mobil bisa dipacu dengan kecepatan tinggi. Adzan dhuhur berkumandang ketika kami tiba di Kota Kecamatan Bajulmati yang berarti buaya mati. Setelah melewati wahana wisata Watu Dodol kami pun tiba di perbatasan Kabupaten Situbondo. Rupanya TN Baluran termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Situbondo.

Setelah melewati kantor dan pos TN Baluran maka kami mulai memasuki hutan kedua di hari ini. Berbeda jauh dengan TN Bali Barat, TN Baluran cenderung gersang dengan mayoritas pohon jati yang sebagian sedang meranggas. Kualitas jalan pun secara umum lebih buruk karena banyaknya gelombang di lapis perkerasan aspalnya. Beberapa bulan lalu aku pernah menyaksikan liputan di sebuah TV internasional tentang beberapa jenis banteng dan sapi liar di TN ini. Kami pun berharap bos bisa menyaksikan satwa-satwa itu berkeliaran bebas di habitat alaminya. Namun rupanya Bos tertidur pulas dan tak akan tega kam membangunkannya.

Hingga sekitar 30 menit di dalam TN satwa yang kami jumpai hanya beberapa jenis primata. Mulai pupus sudah harapan menyaksinal mamalia khas TN Baluran. Tapi sesaat sebelum keluar dari batas TN Baluran kami tiba di sebuah savanna yang sangat luas seolah di negeri fantasi. Sesaat kemudian kawanan mamalia dengan tanduk dan ukuran tubuh yang sangat besar nampak sedang bergerombol dan menikmati makan siang bersama. Sunggu indah menyaksikan pemandangan ini, seolah menjadi oase di tengah beratnya perjalanan kami.

Usai keluar dari batas TN Baluran kami tiba di Kota Kecamatan Banyuputih. Inilah situasi khas pantura Jawa: gersang! Pepohonan tak rindang, sinar matahari terasa lebih menyengat, dan situasi kampung dan kota tidak terlalu ramai. Untungnya Mama dan Bos tertidur hingga aku terus bisa memacu mobil dengan kencang. Bagiku setidaknya kami bisa melewati Situbondo dengan segera. Setidaknya bisa keluar dari wilayah antah berantah ini sudah cukup membuatku lega.

Dengan kecepatan tinggi tentu saja jarak 50 km tak terlalu lama kami tempuh. Asembagus sudah kami lalui dan patok km mulai berganti dengan tulisan Situbondo 30 km. Bukannya menyerah aku malah tancap gas makin kencang mumpung Mama dan Bos belum juga bangun. Kecepatan 100 km/jam beberapa kali kami capai di rute ini. Inilah perjalanan darat sesungguhnya.

Ketika tiba di Kota Situbondo Bos terbangun dan secara teori kami harus berhenti. Namun aku meyakinkan Mama bahwa sebaiknya kami berhenti di Pasir Putih agar kesan wisata semakin terasa. Kuyakinkan bahwa pasir putih tak jauh. Usai Kota Situbondo patok km sudah berganti tulisan menjadi Besuki 30 km. Pasir Putih ada di antara Situbondo dan Besuki dan itu artinya paling-paling jaraknya maksimal hanya 20 km lagi. Deal! Kami kembali ngebut untuk segera mencapai Pasir Putih.

Menjelang Pasir Putih di depan kami mulai nampak perbukitan yang elok dipandang mata. Seingatku Pasir Putih memiliki tipikal seperti Senggigi, perpaduan bukit dan pantai. Memasuki kawasan Pasir Putih mulailah aku merasakan keraguan. Tak ada kesan menarik sedikit pun dimataku untuk berhenti. Pantai ini nyaris seperti sungai besar. Tentu saja hal itu terjadi karena kami hidup di Lombok. Mama pun menyampaikan pendapat yang sama. Panas dan tidak menarik! Hal itu diperparah dengan keterangan tiket masuknya yang jelas mengganggu mood kami. Setelah sempat ragu kami pun terus berjalan ke barat dengan target masjid yang rindang untuk shalat dan istirahat.

Kami memasuki kampung nelayan yang gersang sambil sesekali terlihat Selat Madura yang tenang. Harapan kami untuk mencapai masjid untuk istirahat sesuai dengan kriteria tersebut nampaknya semakin sulit. Situasi semakin panas karena istirahat dan makan siang bagi Bos tidak bisa ditunda. Namun tak ada suatu hal yang mampu membuatku menginjak pedal rem mobil.

Itu dia! Mama berseloroh dan memaksaku mengerem mobil dengan mendadak kemudian kembali beberapa ratus meter hingga tibalah kami di sebuah masjid dengan pepohonan yang sangat rindang di sekitarnya. Oase di tengah pantura. Sungguh lega aku ketika mengetahui kami berada di titik 100 km dari Pelabuhan Ketapang pada pukul 13:45 WIB. Aku mengatakan kepada Mama bahwa perjalanan darat terberat sudah kami lalui. Mari kita istirahat sepuasnya disini.

Rencana shalat jama – qashar akhir kami batalkan karena mumpung di masjid kami shalat sekalian. Mama yang nampak kelaparan tak tahan untuk memintaku membelikan semangkuk Bakso Malang yang kebetulan melintas di depan masjid. Inilah Jawa sesungguhnya. Harga semangkuk bakso lezat ini hanya Rp5.000,- yang sebenarnya untuk ukuran Jawa Timur pinggiran tidak terlalu murah. Setelah shalat kami berjalan kaki menuju warung di depan masjid dan membeli dua buah nasi bungkus dengan ayam goreng dan air mineral 1500 ml dengan harga total Rp15.000,- ditambah bonus segelas air mineral dalam kemasan gelas yang dingin.
                                                                                                                                                                                                                                                           
Sebenarnya masjid ini terletak di dalam komplek sebuah pondok pesantren. Di samping masjid terdapat sebuah madrasah yang kebetulan siang itu nampak sepi. Seorang santri yang aku temui di masjid mengatakan bahwa aktivitas madrasah di pagi hari sudah selesai dan baru akan dimulai setelah ashar. Rumah sang Kiai terletak di samping madrasah. Ibu penjual nasi mengatakan bahwa sekarang ini pimpinan pondok pesantren adalah sang Kiai mudah, sang ayah baru meninggal beberapa waktu lalu dan dimakamkan di belakang masjid.

Nasi rawon dari Gilimanuk tidak menarik Bos. Ia hanya menyantap telur yang kami peroleh dari dalam bakso dan beberapa suap nasi dan pancake. Secar gizi mungkin cukup, sekali lagi masalahnya adalah psikologi sebagai perut nusantara. Setelah berdiksusi panjang lebar kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan merencanakan untuk mencari makan terlezat dan ternyaman untuk Bos. Mungkin di Probolinggo.

To be continued

Chapter VIII  |  Pasir Putih – Kraksaan – Probolinggo
Chapter IX  |  Kota Probolinggo
Chapter X  |  Probolinggo – Sidoarjo