Halo Om,
Tante, Kakak, Kakek, Nenek, dsb… kali
ini episode petualangan kami adalah perjalanan Lombok – Sidoarjo menggunakan
mobil pribadi. Di dalam cerita ini akan tersaji lebih dari sekedar cerita
perjalanan dari secuail wilayah nusantara, tetapi juga sekilas catatan tentang
Indonesia. Mari kita simak petualanganku yang sementara masih ditulis oleh dan
dengan sudut pandang ayah. Kelak ketika sudah bisa membaca aku harus membaca
cerita ini dan menggali berbagai hal dari petualangan yang sebenarnya aku jalani
sendiri ketika masih berusia 20 bulan bersama dua tokoh utama lainnya yaitu
Ayah dan Mama.
-Syaathir
Ahlami Hamzah (Bos)-
Chapter I | Gunung Sari – Lembar
Secara de jure kami cukup
terlambat untuk berangkat. Rencana berangkat setelah subuh—yang sempat direvisi
menjadi lebih realistis menjadi pukul 7:00 WITA—pada akhirnya baru terealisasi
pukul 9:30 WITA. Malam hari sebelumnya kami masih terlalu sibuk mengurus bisnis
Pancake Durian dan proses revitalisasi asisten
rumah tangga (lebih detailnya adalah proses PHK dan persiapan perekrutan personel
baru) serta berbagai plan untuk GILI.
Kami terlalu lelah malam itu hingga berbagai persiapan baru kami lakukan pada
pagi ini. Membersihkan rumah, memasak perbekalan sekaligus menghabiskan semua
bahan makanan yang akan rusak ketika kami tinggal selama 3 minggu, hingga
menata ulang rumah karena akan disewa oleh beberapa teman saat liburan super longweekend pekan depan. Tapi secara de facto tidak ada yang terlambat karena
memang kami tidak terlalu mengejar target. Begitulah Mama mencoba menghibur
kami.
Semua bahan kue yang tersisa di rumah tidak kami sisakan untuk
membuat pancake dalam arti
sesungguhnya yang tebal dan mengenyangkan. Dengan tambahan selai strawberry dan
keju, peran pancake ini akan sangat vital sebagai camilan berbobot yang juga
bisa sebagai bahan makanan pokok. Aku jadi ingat petualangan ke Puncak Rinjani bersama
GiliSurf, sebagian besar anggota tim yang berasal dari Eropa cukup makan
pancake + nanas + susu. Kandungan gizi ketiga makanan itu jelas sudah cukup
memberikan energi. Hanya saja bagi perut nusantara sudah tentu tidak
menyenangkan. Tugaskulah untuk membuat pancake
karena Mama masih sibuk membersihkan rumah. Terletak di sebuah bukit di
Gunung Sari yang merupakan persimpangan antara Senggigi - Pusuk Pass yang juga
akses ke Gili Trawangan – dan Kota Mataram, rumah ini sangat potensial untuk
dijadikan rumah singgah bagi para wisatawan terutama wisatawan dengan lo budget hi movement. Jadi semua barang
probadi kami mulai dari pakaian hingga mainan Bos sebisa mungkin kami masukkan
ke dalam lemari dan karud besar. Yang tersisa di luar hanyalah barang-barang
yang bisa digunakan oleh tamu misalnya TV, lemari es, kompor, dispenser, buku
dan majalah, sepeda, kasur + bantal guling, selimut, dsb.
Perjalanan kami dimulai dengan mampir ke tempat sampah umum di
dekat Bandara Selaparang. Ya, sampah memang menjadi persoalan utama kami.
Setidaknya di perumahan dan kampung sekitar
belum ada jasa distribusi sampah. Hal ini sempat menarik perhatian kami
untuk menanganinya terinspirasi oleh Pak Imam Hariadi Sasongko, orang tua
ketiga kami. Entah apa yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Dinas
Kebersihan Lombok Barat. Tapi setidaknya di berbagai titik yang sering
dijadikan tempat pembuangan sampah oleh masyarakat selalu terpasang papan
peringatan ‘Dilarang Membuang Sampah Di Tempat ini’ dengan signature institusi tersebut. Tetapi solusinya bagi masyarakat? Dibakar
atau lempar ke sungai atau tempat strategis lain! Bagiku solusi sementara
adalah membungkus sampah dengan rapi di dalam kantong plastic besar kemudian
memasukkannya di dalam bagasi mobil dan dengan cepat langsung menuju tempat
sampah umum dengan jarak hanya sekitar 2 km yang disediakan oleh dinas yang
nama depannya sama tetapi nama belakangnya berbeda yaitu Kota Mataram.
Selanjutnya Kami melewati jalan Udayana yang pada masa-masa awal
bisnis Pancake Durian Lombok menjadi salah satu ladang penjualan. Berbelok ke
timur kami menyusuri Jalan Pejanggik yang menjadi icon Kota Mataram. Di sinilah berdiri berbagai bangunan utama mulai
dari satu-satunya Mal hingga Kantor Gubernur. Mobil kami mulai melambat ketika
memasuki wilayah Cakranegara yang selalu sibuk dan padat. Secara sosial ekonomi
Mataram adalah gabungan antara dua kota yaitu Cakranegara yang terletak di
sebelah timur dan Ampenan di pesisir Barat. Cakranegara menjadi salah satu
pusat perekonomian utama di Lombok yang didominasi oleh pedagang keturunan Cina
dan masyarakat yang beragama Hindu. Sedangkan Ampenan sebagian masyarakatnya
adalah Keturunan Timur Tengah serta gabungan berbagai etnis. Itulah yang
menjadikan kota Mataram sungguh berwarna.
Dari pusat kota Cakranegara kami berbelok dan terus bergerak ke
selatan. Kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli air minum dan
beberapa camilan ringan. Tak lama setelah melewati monumen Lombok Barat Bangkit
kami tiba di Kota Gerung yang merupakan ibukota Kabupaten Lombok Barat. Tiba-tiba
di ban belakang mobil terasa ada sesuatu yang mengganjal meskipun mobil masih
bisa kuajak lari kencang. Kami memutuskan berhenti dan memeriksanya. Sebuah
potongan paku menancap di ban belakang sebelah kanan tetapi tidak sampai
menyebabkan kebooran dan langsung teratasi dengan singkat di bengkel yang hanya
berjarak beberapa ratus meter dari tempat kami berhenti. Puluhan hingga ratusa
kali aku keliling Lombok termasuk di wilayah Gerung, tetapi baru kali ini aku
mengalami kejadian seperti ini. Memang pernah ban mobilku tertutuk benda tajam
tetapi itu terjadi di dekat rumah akibat ada material berserakan di proyek
dekat komplek perumahan. Mungkin kejadian ini adalah tembahan cerita yang
membuat perjalanan terasa semakin dinamis.
Kami tiba di Pelabuhan Lembar dan langsung membeli tiket
penyebrangan. Petugas loket cukup ramah namun juga cukup tegas menyebutkan
nominal Rp733.000,- sebagai biaya penyebrangan sebuah mobil pribadi termasuk
penumpang di dalamnya. Inilah atu hal yang membuat Bali – Lombok seolah
terpisah jauh, setidaknya bagi kami. Jauhnya perjalanan laut serta mahalnya
biaya penyebrangan membuat kami tidak bisa sesuka hati jalan-jalan ke Bali
dengan mobil pribadi. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan titik
penyebrangan lain di nusantara. Sepertinya penyebrangan kali ini akan terasa
menyenangkan karena antrian penumpang di dermaga keberangkatan terlihat sangat
sedikit. Mobil dan sepeda motor pun hanya ada beberapa termasuk sepasang
wisawatan asing dengan sepeda motor dan surfboard
yang tergantung di sampingnya. Sekitar 10 menit kami menunggu hingga
akhirnya seorang petugas mengarahkan kendaraan bermotor untuk masuk ke kapal.
Chapter
II | Lembar – Padang Bai
Usai memarkir mobil di bagian paling depan deck paling bawah kapal, seorang petugas langsung menawari kami
untuk menyewa kamar. Hal itu memang sudah masuk plan kami karena mustahil 4 – 5 jam di tempat umum dengan berbagai
aktivitas yang salah satunya adalah tidur dan menyusui. Kami langsung diajak
naik ke deck paling atas dan deal dengan harga Rp70.000,- untuk kamar
nahkoda dengan fasilitas AC, TV dan DVD lengkap dengan puluhan koleksi film, privasi khusus karena bukan deck umum termasuk balkon untuk
menikmati panorama luar, serta kamar mandi khusus perwira tepat di sebelahnya. Harga
yang cukup pantas tetapi sebenarnya bisa aku nego lebih murah lagi daripada
hanya turun 30% dari harga penawarannya. Aku sedang malas nego terlalu dalam
dan yang penting segera masuk ke dalam kamar yang nyaman.
Aktivitas pertama tentu saja memilih film setidaknya untuk membuat
suasana kamar menjadi lebih hidup. Setelah melalui proses pemilihan yang ketat,
The Company of Heroes akhirnya menjadi film pertama yang kami putar. Sebuah
misi rahasia sekutu untuk menggagalkan proyek bom atom Nazi di Kota Stuttgart.
Berbagai referensi menyatakan ‘entah apa jadinya dunia ini jika Nazi yang lebih
dulu menyelesaikan proyek Bom Atom?’
Tentu saja aktivitas Bos adalah makan siang yang ia selesaikan
dengan sangat baik tanpa ada aksi mogok makan. Perut kenyang sebenarnya saat
yang tepat baginya untuk tidur. Tapi rupanya ia memang petualang sejati dan
lebih memilih untuk menikmati pemandangan di luar kapal dari jendela. Lembar
terletak di sebuah teluk yang sangat strategis dengan sisi selatan tertutup
penuh dan sisi barat yang juga nyaris tertutup oleh daratan. Ombak dan angin manjadi
jinak di pelabuhan ini, akan berbeda ceritanya jika pelabuhan diletakkan di
pesisir barat-tengah Lombok misalnya Ampenan. Perlu waktu beberapa puluh menit
bagi kapal buatan Jepang ini untuk meninggalkan teluk tersebut. Selanjutnya
kami berada di bagian utara Sekotong dan seolah sedang berada di atas kapal
pesiar. Garis pantai yang sangat putih adalah hiburan utama di penyebrangan
ini. Beberapa saat kemudian terdapat beberapa gili (pulau kecil). Kamera sudah
tentu tak lepas dari tanganku. Lengkap sudah karena beberapa bulan lalu aku
pernah berhasil meng-capture pulau-pulau
di barat daya Lombok ini dari pesawat, Namun sayangnya kami belum sempat
menjelajahi wilayah tersebut. Pesisir barat – tengah yaitu Ampenan – Senggigi
pun terlihat dari sisi kanan kapal. Sungguh Lombok memang indah nyaris di semua
sisi.
Memasuki jam kedua kami sudah berada di laut lepas dalam artian di
sebelah selatan kami tidak ada lagi daratan dan kapal ini akan memperoleh efek
langsung dari ganasnya Samudra Hindia. Untungnya saat itu Bos sudah berhasil
ditidurkan hingga kekhawatiran kami mengenai kemungkinan ia mabuk laut pun
sirna. Pada hari yang secara umum gelombang laut relatif tenang pun perut kapal
terasa terus bergoncang. Tapi inilah menariknya perjalanan laut sesungguhnya. Usai
shalat dhuhur kami harus memilih film berikutnya. Real Steel adalah film yang
akhirnya kami putuskan untuk kami tonton ulang sambil melakukan berbagi hal
luar biasa di dalam kamar ketika Bos sedang tertidur lelap J.
Goncangan mulai mereda ketika sebuah pulau besar terlihat tepat di
sebelah selatan kami. Itulah Pulau Nusapenida yang sudah masuk ke dalam wilayah
Provinsi Bali. Sekilas secara visual garis Pantai utara Nusapenida tidak
seputih Sekotong meskipun aku yakin di sisi selatan yang mengahdap ke Samudra
Hindia akan lain situasinya. Hal ini membuatku semakin penasaran untuk menjelajahi
pulau tersebut, suatu hari nanti.
Ketika robot Atom milik ayah dan anak Kenton mulai mendapatkan
undangan untuk bertarung di WRB, pulau Bali semakin terlihat jelas di depan
kami. Saat itu pula Bos terbangun dari tidurnya dan kami pun mulai berkemas. Sungguh
beruntung penyebrangan ini lancar dan cepat. Jika durasi rata-rata sebuah film
Hollywood adalah 120 menit, maka total perjalanan ini sekitar 3 jam terdiri
dari 1,75 durasi film + asumsi diskusi memilih film. Tak lama kemudian dari
pengeras suara diumumkan bahwa dalam waktu beberapa menit lagi kapal akan
berlabuh di dermaga Pelabuhan Penyebrangan Padang Bai Bali. Kami menyempatkan
diri untuk berfoto di deck atas yang
seolah menjadi milik pribadi kami sebelum kemudian turun menuju tempat parkir
mobil. Mesin mobil sudah dinyalakan dan kami siap menjelajahi Pulau Bali!
Chapter
III | Padang Bai – Kuta
Rasanya ada energi luar biasa saat menginjak pedal gas mobil di
atas aspal jalan nasional yang menghubungkan Padang Bai dengan Denpasar. Inilah
untuk pertama kalinya keluarga kecil kami berpetualang di Pulau Bali. Pepohonan
yang rindang selepas Padang Bai ditambah pemandangan pura di setiap rumah
membuat rasa kantuk menjadi hilang. Beberapa penjual ikan laut di sisi jalan semakin
membuat suasana melancong semakin terasa. Puncaknya adalah ketika kami melihat
penjualn Durian Bali berjajar di sepanjang jalan. Namun sayangnya jenis duran
yang dijakakan tidak lebih baik dari durian di sekitar Pusuk yang biasa kami
gunakan sebagai komoditi bisnis. Tapi aku tak yakin durian di sekitar Padang
Bai ini bisa menggeneralisir durian dari Pulau Bali.
Usai melewati lokasi wisata Gua Lawa, jalan dua jalur dua lajur
ini akhirnya berbuah menjadi jalan besar dua jalur empat lajur dengan median.
Rasanya kami mulai disambut dengan kekuatan infraturktur Bali sebagai destinasi
wisata yang memang telah mendunia. Satu hal yang membuatku kagum meskipun di
sepanjang jalan tersebut terdapat sangat banyak perempatan dengan lampu lalu
lintas, tetapi semuanya tertib. Ditambah lagi selalu terdapat rambu penunjuk
jalan resmi yang menujukkan destinasi wisata meskipun tidak terkenal.
Berturut-turut kami disuguhi petunjuk jalan ke kiri berbagai pantai yang
seagian besar asing di dalam kamus kami. Sisi kanan pun tak kalah dengan icon Bali Safari Park. Siang yang panas
pun terasa menyenangkan.
Meskipun jalan raya yang sangat istimewa ini dibuat dengan
perkerasan beton yang tentu saja mengurangi kenyamanan berkendara, namun kecepatan
mobil tepat stabil cepat rata-rata 70 – 80 km/jam. Tak lama kami sudah sampai
di Denpasar Timur dan petunjuk jalan menuju Pasar Sukowati ke arah utara.
Sempat tergoda namun kami tetap melanjutkan perjalanan menuju Kuta. Memasuki
kota Denpasar kami sedikit mengalami salah jalan atau bisa disebut kesasar akibat adanya masalah dengan gadget android-ku. Berbekal rambu
penunjuk jalan dan aplikasi GPS amatir dari Blackberry kami pun mulai kembali
ke jalur yang benar menuju Kuta.
Menyusuri jalan-jalan utama di Kota Denpasar diantaranya Jl. Hang
Tuah, Jl. Puputan Niti Mandala Raya, Jl. Teuku Umar kami menyaksikan kemegahan
ibu kota Bali ini. Kantor-kantor instansi pemerintah dan swasta berjajar rapi
di sisi kanan dan kiri jalan yang rindang dengan taman kota yang selalu
terjaga. Mal dan pertokoan pun nampang elok dengan arsitektur khas Bali.
Seandainya daerah lain juga menerapkan perda di dalam pengurusan IMB agar
bangunan publik harus dibuat dengan desain tradisinoal untuk terus melestarikan
budaya dan kearifan lokal.
Sejatinya kami sudah keluar Kota Denpasar dan mulai memasuki
Kabupaten Badung. Hanya saja batas kota memang tak jelas karena nuansanya hampir
sama yaitu keramaian. Menjelang Kuta berbagai hotel mulai berbaris seolah
berlomba menawarkan harga dan fasilitas terbaiknya. Kami memasuki Jl. Legian
dari arah Jl. Patih Jelantik – Jl. Sriwijaya yang menurut Mama sering dijadikan
tempat shooting film (sinetron?) dan
terdapat berbagai galeri seni.
Tibalah kami di salah satu icon
utama Bali yaitu Jl. Legian yang sempat mengalami peristiwa pemboman pada
2002 dan 2004. Nyaris dari semua sudut pandang, Jl. Legian ini sangat menarik!
Di sisi kanan dan kiri hotel berjajar rapi berbagai store merk terkenal yang kebanyakan dari luar negeri. Beberapa
hotel dan restoran/café juga menjadi pemandangan utama yang disempurnakan
dengan wisatawan asing yang berjalan kaki. Mobil kami mungkin hanya sanggup
berjalan dengan kecepatan rata-rata 5 km/jam saat melewati jalan ini karena
sekali jalan tak lebih dari 5 meter yang ditempuh kemudian berhenti lagi selama
beberapa menit. Lebar jalan nyaris penuh dengan dua mobil berjajar dan tentu saja
parkir mobil dan sepeda motor di pinggir jalan diharamkan. Kemungkinan parkir
di jalan ini hanya di hotel. Ingin rasanya berjalan kaki di Legian, namun tak
kunjung menemukan tempat parkir hingga kami pun tiba di Pantai Kuta. Di pintu
selatan Pantai Kuta pun parkir mobil dan sepeda motor penuh hingga kami harus
menyusuri Jl. Pantai Kuta terus ke Utara hingga menemukan tempat parkir tak
jauh dari Sunset Hotel.
Sunset time!
Lupakan
Legian dan jauhnya berjalan kaki kesana sambil menggendong Bos. Kami pun melangkahkan
kaki memasuki Pantai Kuta yang memang tiada duanya. Hamparan pasir putih lembut
membetang dari ujung selatan hingga terus ke Utara sekitar Seminyak. Memang
lebih indah pasir merica di Lombok,
tapi mungkin lebih nyaman pasir jenis ini. Dari sisi ombak juga sedang karena
masih memperoleh efek langsung dari Samudra Hindia dari arah barat daya namun
dari sisi selatan masih terlindungi oleh bagian kaki Pulau Bali—Jimbaran &
Pecatu. View sempurna untuk menikmati
sunset karena pantai ini menghadap ke
arah barat. Sekali lagi mungkin dari sisi landscape
lebih unggul Senggigi dengan perpaduan pantai dan bukitnya. Namun eksotisme
Kuta adalah perpaduan dari elemen alam yang disempurnakan oleh hingar bingar
kehidupan pantai internasional dan beberapa elemen buatan. Fasilitas sudah
tentu menjadi yang terlengkap di Indonesia dengan berbagai brand hotel, kuliner, dan goods
terkenal.
Aku sibuk memotret aktifitas surfing,
Mama sibuk selfie dan bergaya bak
remaja, sedangkan Bos sibuk bersantai dengan gayanya yang khas sambil
memandangi kawan-kawan seumurannya dari berbagai negara yang sedag berenang. Disinilah
kami menyaksikan betapa budaya berniteraksi dengan alam sangat ditanamkan oleh
masyarakat dari negara-negara ‘barat’. Bocah yang kira-kira seusia pun 4 - 5
tahun sudah mencoba berselancar di ombak yang tidak bisa dibilang kecil dengan
dibantu orang tuanya yang memegang tali kendali papan tersebut. Di sisi lain
kami melihat beberapa wisatawan asing seolah sedang membuat film. Dua hal
tersebut sangat menarik dibandingkan lalu lalangnya remaja-remaja Indonesia
yang berpakaian minim yang dengan mentah bergaya bule dan seolah sama sekali tak kenal norma ketimuran. Tak terasa
matahari pun sudah hampir tenggelam sepenuhnya dan kami harus melanjutkan
perjalanan.
Chapter
IV | Kuta – Negara
Mengejutkan sekali ternyata parkir mobil di Kuta tidak ditarik
biaya. Mungkin masyarakat Bali tidak mau bermain ‘uang receh’ seperti itu.
Devisa wisata dikelola dengan baik, tidak seperti daerah lain termasuk Lombok
yang persoalan parkir pun masih menjadi andalan utama masyarakat sekitar.
Kami harus kembali ‘ke jalur yang benar’ yaitu jalan nasional
Denpasar – Gilimanuk. Singkatnya kami sudah melenceng hingga 15 km di sebelah
selatan jalur tersebut. Kami pun mantap memutuskan untuk berpatokan pada plan awal yaitu bermalam di Negara.
Setidaknya di hari pertama ini kami ingin ada perjalanan berarti. Jika harus
bermalam di Kuta maka hari kedua akan menjadi sangat berat. Biarlah kami
berlibur sepuasnya di Bali saat kembali nanti atau di lain kesempatan.
Memasuki Jl. Seminyak perjalanan relatif mulai lancar. Secara umum
strukturnya sama dengan Jl. Legian namun sedikit lebih lebar dan keramaiannya
pun berkurang. Pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan hampir sama dengan
didominasi oleh hotel, restoran/café, dan toko. Namun jenis barang yang dijual
disini mulai berbeda. Di Seminyak mulai banyak kerajinan lokal yang sangat
elegan dan puncaknyanya adalah sebuah butik milik Ni Putu Jelantik. Sedangkan
untuk produk fashion internasional
tidak melulu didominasi oleh merk surf
appreal tetapi lebih banyak butik dengan berbagai spesifikasi jenis pakaian
mulai dari gaun pengantin hingga bikini. Kami cukup terinspirasi oleh kerajinan
dari kerang yang dibentuk menjadi semacam lampu elegan dengan ornamen alami.
Usai maghrib kami mulai meninggalkan area wisata tersebut namun
jalanan tidak serta merta menjadi sepi. Jika tingkat kerumitan jalanan di
Jakarta memperoleh nilai 10 (skala 0 – 10) maka Bali setidaknya satu tingkat di
bawahnya. Kerumitan jalanan ini diperparah dengan adanya upacara adat Galungan
& Waisak yang membuat beberapa ruas jalan harus ditutup. Tantangan yang
semakin nyata untuk menaklukkan jalanan Badung. Untuk urusan perut Bos masih
tersedia perbekalan, sedangkan bagi kami disinilah peran pancake sebagai camilan berat pengganjal perut. Berhenti untuk makan
di sekitar Badung yang rumit bukan pilihan. Bagi kami sebagiknya terus berjalan
sambil ngemi pancake dan di Negara
nanti kita akan makan malam lezat dengan kondisi bada segar.
Kami berhenti di sebuah bensin beberapa saat sebelum tiba di jalan
nasional di sekitar Mengwi. Inilah pertama kalinya kami mengisi bensin di
perjalanan ini karena perjalanan Lombok – Denpasar masih bisa dilayani dari
sisa bensin yang ada. Melihat kamar mandi yang bersih kami memutuskan untuk
memandikan Bos. Inilah Bali-Jawa dimana pom bensin seringkali menjadi tempat
peristirahatan yang cukup nyaman. Memandikan Bos disini pun tidak disertai
dengan perlawanan berarti. Ia mandi dengan ceria. Badan segar, bersiaplah tidur
dan melanjutkan perjalanan berikutnya Bos!
Lega rasanya bertemu dengan bus-bus dan truk-truk besar. Akhirnya
kami tiba di jalan nasional Denpasar – Gilimanuk dan tak lagi bergantung kepada
gadget. Jalanan lebar membuat kami
mau tidak mau harus menyesuaikan kecepatan. Rasanya Kota Negara akan dicapai
dengan mudah meskipun aku sempat melihat patok km di kiri jalan yang tertulis
Gilimanuk 106 km. Setelah kuestimasi jarak dari titik tersebut ke Negara adalah
sekitar 80 km.
Perjalanan mulai terasa sulit usai kami melewati Tabanan. Jalanan
mulai menyempit sehingga lalu lintas terasa padat. Diperparah dengan topografi
naik – turun dan banyaknya tikungan serta adanya proyek pembuatan fly over pada beberapa titik, kecemasan
mulai menghinggapi Kami. Mama mulai mengungkit bahwa Negara memang jauh karena
ia terpengaruh cerita dari teman ibunya yang bekerja di PA Negara. Aku mencoba
tenang namun tetap cemas dan merasa bersalah karena aku mulai sadar bahwa di
perjalanan ini bukan hanya aku yang bekerja keras sebagai driver, tetapi juga Mama yang harus memangku Bos, dan Bos yang tidak
bisa tidur dengan posisi optimal. Menggunakan baby car seat pun bukan pilihan buat Bos karena ia tidak bisa
bergerak bebas. But the sow must go on. Berhenti
dan mencari hotel di sekitar sini bukan pilihan yang baik karena kami relatif
tidak berada di suatu kota, sedangkan kembali ke Denpasar jelas konyol. Aku
jadi ingat beberapa kali aku menempuh Jalur Denpasar – Gilimanuk sejak beberapa
tahun lalu selalu saja menghadapi kondisi seperti ini di Tabanan. Tak
kubayangkan jika harus melewati daerah ini pagi atau siang hari dimana
kepadatan arus lalu lintas harus berpadu dengan berbagai aktivitas masyarakat
setempat misalnya pasar dsb.
Seringkali aku harus mempertahankan persneling mobil di gigi 1 ketika melewati jalan menanjak karena di
depan kami ada truk besar yang berjalan dengan sangat lambat. Mobil kami yang
bertipe hatchback compact nampak mini
disbanding raksasa jalanan seperti truk dan bus besar. Ketika jalan baru yang
sedang dikerjakan nanti sudah selesai waktu tempuh Denpasar – Gilimanuk sudah
tentu akan menjadi lebih singkat. Di sinilah peran infrastruktur sebagai
penopang distribusi logistik maupun wisata.
Perjalanan menjadi lebih cepat ketika kami kembali di pesisir
patai selatan dan topografi jalan menjadi lebih ramah yang berdampak pada
jalanan terkesan lebih lapang. Aku sempat mencoba mengecek peta di gadget dan mendapat bahwa kami sudah
berada di setengah perjalanan menuju Negara. Tentu saja kecepatan harus
kutingkatkan untuk segera mencapai Negara. Bos pun mulai tampak tertidur
semakin lelap.
Sekitar satu jam kemudian kami merasa seharusnya sudah tiba Negara
tapi tak kunjung mendapati gerbang kota atau berubahnya situasi dari kegelapan
hutan – sawa menjadi kota. Sempat terjadi perdebatan dengan Mama yang
berargumentasi bahwa Kota Negara sudah terlewati dan mungkin tak lama lagi kami
akan sampai di Gilimanuk. Tapi pendapat itu sirna dengan mulai banyaknya papan
nama resort di sebelah kiri kami dan rambu-rambu ke arah pantai. Tak lama
kemudian tibalah kami di gerbang Kota Negara dan harapan untuk segera tidur di
atas kasur empuk pun akan segera terwujud.
Sebenarnya sejak di Badung aku sudah menelepon sebuah hotel yang
kupilih secara teoritis dari daftar hotel di websit Kabupaten Jembrana. Teoriku
adalah mencari hotel yang lokasinya di jalan utama. Hotel Jati kupilih karena
terletak di Jl. Udayana yang juga terletak di jalur nasional. Tapi sejak tiba
di kota negara kami mulai kehilangan arah akibat tak kunjung menemukann Jl.
Udayana dan seolah jalan itu fiktif dan hanya ada di google map. Sempat putus asa kami sempat mencoba mampir ke beberapa
hotel yang juga tak memuaskan dari sisi harga dan fasilitas serta beberapa
sudah tutup. Kami pun bertanya ke beberapa orang satpam di depan sebuah Bank
Swasta. Rupanya memang baru terjadi pergantian nama jalan di Kota ini sehingga
aplikasi map belum bisa
mengakomodasinya. Seorang satpam memberikanku petunjuk bahwa Hotel Jati lurus
saja ke barat sampai sungai ketiga. Aku jadi teringat dengan Robi Navicula yang
pernah mehyatakan bahwa sungai adalah sumber energi dan di dalam adat Bali
harus dihormati. Bapak itu pun memberikan petunjuk dengan acuan sungai, bukan
gedung, bukan kilometer, bukan tikungan sebagai bukti akan penghormatan
terhadap kearifan lokal.
Tepat sekitar pukul 22:00 WITA Kami tiba di Hotel Jati. Terbayar
sudah perjuanangan kami menemukan hotel Jati
karena sejak di gerbang masuk dan receptionist
terlihat sangat nyaman. Kami berhasil mencapai target geografis, tapi gagal
mencapai target waktu karena terlalu malam bersitrirahat di hari pertama ini. Puas
rasanya melihat kamar yang cukup besar dengan kamar mandi dalam serta 2 singel bed lengkap dengan TV dan
penyejuk ruangan serta teras yang cukup lebar dan mobil kami bisa diparkir
tepat di depan kamar. Struktur hotel ini adalah bangunan-bangunan berukuran
sedang yang tersebar tidak simetris dan masing-masing dibagi menjadi dua kamar.
Untuk urusan harga Bali memang rajanya hotel. Kelas AC hotel ini dibanderol
dengan harga Rp150.000,- sedangkan kelas fan
dengan luas dan fasilitas yang sama hanya Rp75.000,- dengan bonus sarapan
pagi untuk dua orang.
Welcome
drink dua gelas the hangat kami lahap dengan nikmat, kemudian mandi dan
pergi keluar hotel untuk mencari makan malam. Aku membeli makan pesanan Mama
yaitu nasi goreng di dekat pusat Kota Nagara. Tapi ketika tiba di hotel justru
aku mendapati kontradiksi. Mama tertidur lelap dalam kondisi belum mandi dan
berganti pakaian, sedangkan Bos nampak full
battery dan sedang bermain sendiri. Akhirnya aku menikmati makan malam
bersama dengan Bos. Beberapa suap nasi dan telur berhasil masuk ke dalam
mulutnya. Setelah itu aku tidur dan Bos kembali menjadi tanggung jawab Mama.
Konon malam itu usai makan malam, Mama tidak berhasil menidurkan Bos dan Bos
tetap bermain sendiri hingga akhirnya ketiduran.
Chapter
V | Negara – Taman Nasional Bali Barat –
Gilimanuk
Tidur nyenyak sudah tentu, bangun kesiangan juga hampir terjadi
yang diperparah dengan perbedaan waktu. Kami berada di WITA paling barat yang
secara de jure mungkin lebih terpengaruh
WIB. Usai shalat subuh Mama kembali tidur. Aku mencoba berjalan-jalan bersama
Bos di sekitar hotel. Sudah tentu Bos girang bukan main karena bertemu dengan
salah satu sahabatnya yang terparkir tak jauh dari kamar kami: truk! Hotel ini
memang menjadi hotel transit utama di Negara. Selain kami nampak beberapa
keluarga dengan mobil jenis MPV juga menginap di hotel ini serta sebuah truk
berukuran kecil dan pengendara moge.
Puas bermain dengan truk aku mengajak bos bermain alat musik
tradisional Bali di sebuah gazebo. Penggunaan
bambu sebagai alat musik ternyata tidak hanya angklung. Alat musik ini
berbentuk seperti kulintang dengan setiap ruas bambu mewakili sebuah nada yang
dipukul juga dengan bambu. Alat musik ini seperti tidak menggunakan pakem tujuh
tangga nada internasional. Suatu hari nanti ingin kupelajari lebih detail alat
instrument bambu ini.
Setelah Mama bangun kami
mulai persiapan keberangkatan. Malam harinya kami sepakat bahwa kami tidak
boleh terlalu mengejar target lagi meskipun juga tidak terlamapu siang. Intinya
ketka semua persiapan beres dan rasa lelah sudah taratasi, maka kami akan berangkat.
Sarapan pagi datang dengan menu nasi goreng + telur ceplok. Mama aku persilahkan menyantapan
makanan terlebih dahulu sambil mencoba menyuapi Bos, sedangkan aku mencuci
semua kotak makan. Bos hanya mau menikmati telur karena nasi goreng tersebut
cenderung memiliki rasa pedas. Oke tidak masalah Bos bisa kami carikan makan di
sekitar Gilimanuk. Sebagai pengganjal perut ia sudah menikmati telur dan pancake. Usai sarapan dan mandi kami pun
siap melanjutkan perjalanan menuju Gilimanuk. Terima Kasih atas pelayananannya
yang sangat memuaskan, Hotel Jati!
Perjalanan Negara – Gilimanuk mungkin menjadi salah satu yang
paling menyenangkan. Tidur cukup, perut kenyang, badan segar, dan di hari yang
relatif pagi sekitar pukul 09:00 WITA adalah bekal yang cukup. Dan tentu saja
tak jauh dari Negara kami tiba di Taman Nasional (TN) Bali Barat. TN ini adalah
habitat berbagai jenis burung khas Bali, primata, dan reptil. Welcome to The Jungle! Mata kami
benar-benar fresh menyaksikan
pepohonan sejuk di kanan di kiri kami dengan sesekali nampak air laut di sisi
kiri. Jalanan mulus sepanjang TN membuat kami dengan cepat melewatinya. Aku
kembali menegaskan kepada Mama untuk tidak terlalu memikirkan sejauh perjalanan
yang masih harus kami tempuh karena hanya akan membuat mental down untuk melalui perjalanan ini.
Sebaiknya kami fokus kepada setiap chapter
beserta ceritanya masing-masing dan melihat kembali sejauh mana yang sudah
kami capai.
Di ujung TN kami berhenti di sebuah monument perjuangan TNI dan
menyempatkan diri untuk berfoto bersama artileri dari tahun 40-an. Seorang
petugas menghampiri kami dan banyak bercerita tentang monumen beserta alat-alat
perang tersebut. Ia sangat bangga dengan kualitas sejata buatan Rusia yang
hingga usia ke-50 tidak ada karat sedikit pun. Namun ceritanya mulai ngelantur ketika membahas tentan para
jendral bintang 4 hingga 5 yang sering berkunjung ke tempat ini dan akrab
dengan dirinya. Khas wong cilik di
negeri ini, terlalu membesar-besarkan kenalan. Selanjutnya kami berhenti di
depan pos TN Bali Barat yng juga menjad pusat kegiatan outdoor dan bird watching. Jika
ada waktu yang cukup tentu saja aku aka singgah lebih lama dan berburu foto
unggas tersebut.
Kami mulai memasuki Desa Gilimanuk setelah sebuah pertigaan besar.
Jalan ke arah timur laut tersebut adalah rute menuju Pantai Lovina, destinasi
yang relatif baru di Bali dengan mengadalkan keelokan lumba-lumba. Kami
berjalan terus ke arah barat laut kemudian berhenti di sebuah warung
bertuliskan ‘Jawa Muslim’ untuk membeli makanan Bos. Di sekitar Negara –
Gilimanuk memang populasi Jawa Muslim cukup banyak dan banyak warung selalu menuliskan
identitas tersebut untuk memeberikan info konsumen akan makanan halal. Menu
makan Bos kali ini adalah nasi + rawon yang nampak segar di lidahnya. Usai
membayar makanan yang ternyata lebih mahal dari perkiraanku, kami pun
melanjutkan perjalanan untuk mencari ATM dan memasuki kawasan Pelabuhan
Penyebrangan Gilimanuk.
Chapter
VI | Gilimanuk – Ketapang
Pelabuan Gilimanuk lebih ketat dibandingkan Lembar dan Padang Bai.
Sebelum memasuki loket, kami harus menjalani pemeriksaan SIM dan STNK oleh
polisi. Tapi pemerikasaan KTP tidak dilakukan padahal sebelumnya aku sudah
meminta Mama untuk mempersiapkan KTP. Sejak peristiwa Bom Bali memang akses
keluar masuk Bali (terutama dari Jawa) dibuat lebih ketat. Selanjutnya kami
tiba di loket penyebrangan dan harus membayar sebesar Rp 124.000,- yang kurang
lebih hanya sekitar 17% dari harga tiket penyebrangan Lembar – Padang Bai.
Tanpa antri kami langsung diarahkan untuk masuk sebuah kapal yang
nampak hampir penuh. Kali ini kami mendapatkan parkir di baris paling belakang
di deck paling bawah. Tidak masalah
yang penting cepat berangkat. Sesuai plan
kami tidak perlu menyewa kamar karena durasi perjalanan hanya sekitar satu
jam. Kami langsung bergerak menuju lantai 2 dan memilih tempat duduk di ruangan
dalam yang dilengkapi AC tepat di samping jendela kaca yang sangat besar. Dengan
leluasa kami bisa melihat pemandangan di luar kapal. Menyenangkan juga berada
di dalam kapal import bekas dari Jepang ini.
Perlahan-lahan kapal mulai bergerak meninggalkan Pelauhan
Gilimanuk Bali. Garis pantai Pulau Bali nampak putih dan indah yang dilengkap
dengan perbukitan di belakangnya dan di kejauhan nampak sebuah Gunung yang
sangat besar yaitu Gunung Agung. Sedangkan di sisi Pulau Jawa berdiri kokoh
Gunung Raung. Garis pantai Pulau Jawa di sisi ini memang tidak terlihat indah,
tetapi aku yakinkan kepada Mama bahwa sisi selatan Pulau Jawa tepatnya
Banyuwangi adalah pantai dan surf spot kelas
dunia.
Sembari beristirahat kami menikmati pancake dan beberapa camilan ringan. Inilah saatnya istirahat bagi
kami, juga bagi mobil karena sebentar lagi perjalanan berat menanti. Bagi
sebagian orang perjalanan dasat seseungguhnya adalah jalur Banyuwangi –
Sidoarjo/Surabaya. Di belakang tempatku duduk terdapat seorang lelaki saparuh
baya yang dari mimik mukanya terlihat cukup ramah. Entah apa yang membuat kami
memulai percakapa tetapi akhirnya ia pun bercerita tentng pengalama kerjanya.
Mulai dari bekerja sebagai tukang bangunan di Denpasar hingga menjadi TKI di
Maldives. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kami petik dari perjalaan
hidupnya. Ia pun cukup bangga menceritakan daerah asalnya yang merupakan jalur
utama pendakian menuju Kawah Ijen.
Perjalanan yang lancar mulai menemui hambatan. Kapal seolah hanya
diam di tempat sekitar beberapa ratus meter dari dermaga. Terlihat sangat jelas
dermaga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi termasuk berbagai fasilitas disana
misalnya tangki BBM berukuran besar dan terminal penumpang serta beberapa kapal
besar yang sepertinya akan menuju ke Kalimantan terlihat dari tulisan
Banjarmasin. Lelaki tersebut mengatakan bahwa hal ini sudah biasa terjadi.
Sungguh tak habis pikir aku bahwa antrian masuk dermaga harus dilumrahkan.
Entah berapa banyak BBM terbuang akibat manuver tanpa pergerakan ini. Apakah
terlalu sulit mengatur schedule kapal
yang sepintas tidak terlalu banyak ini?
Mari kita belajar dari film The Italian Job mengenai penggunaan
tekonologi informasi untuk mengatur lampu lalu lintas sebuah kota. Hal itu bisa
saja kita adopsi untuk mengatur schedule perjalanan
kapal. Kita punya jutaan sarjana IT, instrumentasi, mekanikal, dan kelautan di
negeri ini. Tak usah cari yang mahal karena aku yakin instrument dan
algoritmanya tidak akan terlalu sulit, asalkan variabel datanya dibuat dan diinput
dengan sempurna. Yang aku bayangkan adalah sebuah basis data dengan variable
jenis kapal, estimasi waktu loading –
unloading lengkap dengan standar deviasi, peta laut serta batas-batas
imajiner misalnya radius manuver, data cuaca dan berbagai vaiable alam yang
diperlukan, kecepatan yang bisa diturunkan lagi menjadi waktu menyerabrang bagi
kapal ferry dan waktu meninggalkan
area pelabuhan bagi kapal laut, konsumsi BBM setiap kapal, dsb. Semua itu harus
dikalkulasi menjadi perintah jalan, tahan, dsb dengan pilihan prioritas
misalnya efisiensi semua kapal atau memprioritaskan kapal tertentu dengan rumus
yang telah ditetapkan hingga perhitungan detail BBM yang digunakan. Outputnya
adalah persinyalan yang bisa berupa apapun untuk kapal yang menjadi tugas
instrumentasi. Disinilah peran sinergi antar bidang. Mungkin mereka sudah punya
aplikasi yang jauh lebih canggih dari ide konyolku ini. Tapi sudah jelas bahwa
implementasinya nol.
Setelah berhenti sekitar setengah jam kapal akhirnya mulai
bergerak mendekati dermaga Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Pada saat bersamaan
beberapa kapal bergerak meninggalkan Pelabuhan Ketapang menuju arah utara
dengan muatan truk besar dan sekitar ratusan sepeda motor baru. Kami pun mulai
bergerak turun ke deck paling bawah
sambil menyempatkan diri berfoto. Petualangan berikutnya mengarungi Taman
Nasional (TN) Baluran siap kami mulai!
Chapter
VII | Ketapang – Taman Nasional Baluran – Pasir
Putih
Menunggu truk dan bus di depan kami keluar kapal memang cukup
menguji kesabaran. Akhirnya tiba giliran mobil kami untuk keluar meninggalkan
kapal dan mulai menginjakkan kaki di Pelabuhan Ketapang yang sepintas faslilitasnya
paling lengkap di antara tiga pelabuhan yang sebelumnya kami lalui. Keluar dari
gerbang pelabuhan kami pun berbelok ke kanan dan terus bergerak kea rah utara. Di
sisi jalan terpampang beberapa baliho besar mengenai sebuah maskapai BUMN yang
baru-baru ini membuka rute penerbangan dari dan ke Banyuwangi. Akhirnya
kabupaten dengan sejuta potensi wisata ini dikelola dengan baik. Untuk wisata
pantai sebut saja Plengkung G-Land yang sudah mendunia. Tak bisa kita lupakan
juga Pulau Merah dan berbagai pantai lain di sekitarnya. Untuk wisata pegunungan
tentu saja Kawah Ijen adalah jaminan mutu bagi wisatawan asing. Masih banyak
lagi potensi wisata Banyuwangi yang semogasaja bisa dikelola dengan baik untuk
kemakmuran rakyat.
Setelah melewati terminal Bus Sri Tanjung kami pun berhenti di
sebuah pom bensin. Secara teori mungkin bensin kami sudah cukup hingga Pasir
Putih. Tapi kami tak mau mengambil resiko dan memilih untuk meambah cadangan
bahan bakar. Di patok km sebelah kiri tertulis Surabaya 265 km dan Asem Bagus
50 km. sudah tentu Mama shock melihat
jauhnya jarak yang masih harus kami tempuh. Tapi lagi-lagi aku mengingatkan
bahwa kita tidak akan terlalu mengejar target dan jika pun ada target sebaiknya
dibuat per chapter. Aku mencoba
membuka gadget dan mendapati bahwa
Asem Bagus adalah sebuah Kota Kecamatan sebelum Kota Situbondo. Sebenarnya
dalam hati aku juga mulai down, mission
impossible… bahkan dengan melaju 50
km saja kami belum akan mencapai Kota Situbondo.
Setelah meninggalkan pom bensin perjalanan terasa begitu cepat.
Jalanan mulus membuat mobil bisa dipacu dengan kecepatan tinggi. Adzan dhuhur
berkumandang ketika kami tiba di Kota Kecamatan Bajulmati yang berarti buaya
mati. Setelah melewati wahana wisata Watu Dodol kami pun tiba di perbatasan
Kabupaten Situbondo. Rupanya TN Baluran termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Situbondo.
Setelah melewati kantor dan pos TN Baluran maka kami mulai
memasuki hutan kedua di hari ini. Berbeda jauh dengan TN Bali Barat, TN Baluran
cenderung gersang dengan mayoritas pohon jati yang sebagian sedang meranggas. Kualitas
jalan pun secara umum lebih buruk karena banyaknya gelombang di lapis
perkerasan aspalnya. Beberapa bulan lalu aku pernah menyaksikan liputan di
sebuah TV internasional tentang beberapa jenis banteng dan sapi liar di TN ini.
Kami pun berharap bos bisa menyaksikan satwa-satwa itu berkeliaran bebas di
habitat alaminya. Namun rupanya Bos tertidur pulas dan tak akan tega kam
membangunkannya.
Hingga sekitar 30 menit di dalam TN satwa yang kami jumpai hanya
beberapa jenis primata. Mulai pupus sudah harapan menyaksinal mamalia khas TN
Baluran. Tapi sesaat sebelum keluar dari batas TN Baluran kami tiba di sebuah
savanna yang sangat luas seolah di negeri fantasi. Sesaat kemudian kawanan
mamalia dengan tanduk dan ukuran tubuh yang sangat besar nampak sedang
bergerombol dan menikmati makan siang bersama. Sunggu indah menyaksikan
pemandangan ini, seolah menjadi oase di tengah beratnya perjalanan kami.
Usai keluar dari batas TN Baluran kami tiba di Kota Kecamatan
Banyuputih. Inilah situasi khas pantura Jawa: gersang! Pepohonan tak rindang,
sinar matahari terasa lebih menyengat, dan situasi kampung dan kota tidak
terlalu ramai. Untungnya Mama dan Bos tertidur hingga aku terus bisa memacu
mobil dengan kencang. Bagiku setidaknya kami bisa melewati Situbondo dengan
segera. Setidaknya bisa keluar dari wilayah antah berantah ini sudah cukup
membuatku lega.
Dengan kecepatan tinggi tentu saja jarak 50 km tak terlalu lama
kami tempuh. Asembagus sudah kami lalui dan patok km mulai berganti dengan
tulisan Situbondo 30 km. Bukannya menyerah aku malah tancap gas makin kencang
mumpung Mama dan Bos belum juga bangun. Kecepatan 100 km/jam beberapa kali kami
capai di rute ini. Inilah perjalanan darat sesungguhnya.
Ketika tiba di Kota Situbondo Bos terbangun dan secara teori kami
harus berhenti. Namun aku meyakinkan Mama bahwa sebaiknya kami berhenti di
Pasir Putih agar kesan wisata semakin terasa. Kuyakinkan bahwa pasir putih tak
jauh. Usai Kota Situbondo patok km sudah berganti tulisan menjadi Besuki 30 km.
Pasir Putih ada di antara Situbondo dan Besuki dan itu artinya paling-paling
jaraknya maksimal hanya 20 km lagi. Deal!
Kami kembali ngebut untuk segera
mencapai Pasir Putih.
Menjelang Pasir Putih di depan kami mulai nampak perbukitan yang
elok dipandang mata. Seingatku Pasir Putih memiliki tipikal seperti Senggigi,
perpaduan bukit dan pantai. Memasuki kawasan Pasir Putih mulailah aku merasakan
keraguan. Tak ada kesan menarik sedikit pun dimataku untuk berhenti. Pantai ini
nyaris seperti sungai besar. Tentu saja hal itu terjadi karena kami hidup di
Lombok. Mama pun menyampaikan pendapat yang sama. Panas dan tidak menarik! Hal
itu diperparah dengan keterangan tiket masuknya yang jelas mengganggu mood kami. Setelah sempat ragu kami pun
terus berjalan ke barat dengan target masjid yang rindang untuk shalat dan
istirahat.
Kami memasuki kampung nelayan yang gersang sambil sesekali
terlihat Selat Madura yang tenang. Harapan kami untuk mencapai masjid untuk
istirahat sesuai dengan kriteria tersebut nampaknya semakin sulit. Situasi
semakin panas karena istirahat dan makan siang bagi Bos tidak bisa ditunda.
Namun tak ada suatu hal yang mampu membuatku menginjak pedal rem mobil.
Itu dia! Mama berseloroh dan memaksaku mengerem mobil dengan
mendadak kemudian kembali beberapa ratus meter hingga tibalah kami di sebuah
masjid dengan pepohonan yang sangat rindang di sekitarnya. Oase di tengah pantura.
Sungguh lega aku ketika mengetahui kami berada di titik 100 km dari Pelabuhan
Ketapang pada pukul 13:45 WIB. Aku mengatakan kepada Mama bahwa perjalanan
darat terberat sudah kami lalui. Mari kita istirahat sepuasnya disini.
Rencana shalat jama – qashar
akhir kami batalkan karena mumpung di masjid kami shalat sekalian. Mama
yang nampak kelaparan tak tahan untuk memintaku membelikan semangkuk Bakso
Malang yang kebetulan melintas di depan masjid. Inilah Jawa sesungguhnya. Harga
semangkuk bakso lezat ini hanya Rp5.000,- yang sebenarnya untuk ukuran Jawa
Timur pinggiran tidak terlalu murah. Setelah shalat kami berjalan kaki menuju
warung di depan masjid dan membeli dua buah nasi bungkus dengan ayam goreng dan
air mineral 1500 ml dengan harga total Rp15.000,- ditambah bonus segelas air
mineral dalam kemasan gelas yang dingin.
Sebenarnya masjid ini terletak di dalam komplek sebuah pondok
pesantren. Di samping masjid terdapat sebuah madrasah yang kebetulan siang itu
nampak sepi. Seorang santri yang aku temui di masjid mengatakan bahwa aktivitas
madrasah di pagi hari sudah selesai dan baru akan dimulai setelah ashar. Rumah
sang Kiai terletak di samping madrasah. Ibu penjual nasi mengatakan bahwa
sekarang ini pimpinan pondok pesantren adalah sang Kiai mudah, sang ayah baru
meninggal beberapa waktu lalu dan dimakamkan di belakang masjid.
Nasi rawon dari Gilimanuk tidak menarik Bos. Ia hanya menyantap
telur yang kami peroleh dari dalam bakso dan beberapa suap nasi dan pancake. Secar gizi mungkin cukup,
sekali lagi masalahnya adalah psikologi sebagai perut nusantara. Setelah
berdiksusi panjang lebar kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan
merencanakan untuk mencari makan terlezat dan ternyaman untuk Bos. Mungkin di
Probolinggo.
To be continued
Chapter
VIII | Pasir Putih – Kraksaan – Probolinggo
Chapter
IX | Kota Probolinggo
Chapter
X | Probolinggo – Sidoarjo